Selasa, 17 April 2012

Hubungan Kualitas Layanan Belajar dengan Pendidik Profesional

2.1         Pendidik Profesional
2.1.1      Pengertian Pendidik Profesional
Guru atau pendidik dalam Pasal 1 Ayat 6 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Selanjutnya dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 BAB XI, Pasal 39 ayat 2 dikemukakan bahwa: pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Made Pidarta (1997 : 264) memberikan tinjauan terhadap dua arti pendidik, yaitu pendidik dalam arti luas adalah semua orang yang berkewajiban membina anak-anak dan pendidik dalam arti sempit adalah orang-orang yang disiapkan dengan sengaja untuk menjadi guru dan dosen. Kedua jenis ini dibedakan atas pendidikan dan waktu khusus untuk mencapai predikat pendidik.
Made Pidarta (1997 : 265) menyatakan bahwa tidak diakuinya keprofesionalan para guru dan dosen, didasarkan atas kenyataan yang dilihat masyarakat bahwa:
1.        banyak sekali guru maupun dosen yang tidak memberi keputusan kepada mereka, dan
2.        menurut pendapat masyarakat, pekerjaan mendidik dapat dilakukan oleh siapa saja.

Made Pidarta (1997 : 269-271) menyatakan bahwa diperlukan hal-hal berikut untuk memenuhi persyaratan profesi pendidik, yaitu :
1.        Perlunya diperkenalkan penjelasan mengenai pendidikan bagi calon pendidik dan memberikan kesempatan berpikir untuk memahami profesi mendidik tersebut.
2.        Perlu dikembangkan kepada calon pendidik kriteria keberhasilan mendidik, keberhasilan ini bukan atas prestasi akademik pendidik namun lebih dicerminkan oleh keberhasilan mendidik dengan kriteria-kriteria tertentu seperti memiliki sikap suka belajar, tahu tentang cara belajar dan lainnya.
3.        Memperkenalkan perilaku di lapangan yang dapat dipilih sesuai dengan tujuan pendidikan setiap kali tatap muka. Profesionalisme muncul atas dasar perkembangan masyarakat modern yang semakin kompleks yang menyebabkan proses pengambilan keputusan bertambah sulit, memerlukan informasi yang lengkap, didasari atas penguasaan terhadap pengetahuan serta permasalahannya dan jaminan atas penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin terjadi.
Selanjutnya Rustiyah N. K. (1989 : 174) menyatakan bahwa pendidik profesional adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional, yang mampu dan setia mengembangkan profesinya, ikut serta dalam mengkomunikasikan usaha pengembangan profesi dan bekerja sama dengan profesi yang lain.
Educational Leadership dalam Supriadi (1998:98) menyatakan bahwa untuk menjadi seorang guru profesional dituntut untuk memiliki lima hal:
1.        Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada  kepentingan siswanya.
2.        Guru menguasai secara mendalam bahan atau mata pelajaran yang diajarkannya serta mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3.        Guru bertanggungjawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4.        Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang  telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
5.        Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat yang belajar dalam lingkungan profesinya.

Menurut Surya (2005:47), guru yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan dan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Guru yang profesional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggungjawabnya sebagai guru peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, negara dan agama. Guru profesional mempunyai tanggungjawab pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual.
Menurut Rice dan Bishoprick (1971:5), guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Profesionalisasi disini dipandang sebagai satu proses yang bergerak dari ketidaktahuan (ignorance) menjadi tahu, dari ketidakmatangan (immaturity) menjadi matang, dari diarahkan oleh orang lain (other directedness) menjadi mengarahkan diri sendiri.
Peningkatan profesionalisme guru harus dilakukan secara sistematis, dalam arti direncanakan secara matang, dilaksanakan secara taat asas, dan dievaluasi secara objektif. Sebab lahirnya seorang profesional tidak bisa hanya melalui bentuk penataran dalam waktu enam hari, supervise dalam sekali atau dua kali, dan studi banding selama dua atau tiga hari.
Sikap seorang guru yang profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, antara lain: memiliki kualitas pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus (countinuous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar dan semacamnya (Sidi, 2003:50).
Realita yang terjadi juga pada saat ini, keberadaan guru profesional sangat jauh dari apa yang dicita-citakan. Menjamurnya sekolah-sekolah yang rendah mutunya memberikan suatu isyarat bahwa guru profesional hanyalah sebuah wacana yang belum terealisasi secara merata dalam seluruh pendidikan yang ada di Indonesia. Hal ini menimbulkan suatu keprihatinan yang tidak hanya datang dari kalangan akademisi, akan tetapi orang awam juga ikut mengomentari menurunnya pendidikan dan tenaga pengajar yang ada. Kenyataan tersebut menggugah kalangan akademisi, sehingga mereka membuat perumusan untuk meningkatkan kualifikasi guru melalui pemberdayaan dan peningkatan sikap profesionalisme guru dari pelatihan sampai dengan intruksi agar guru memiliki kualifikasi pendidikan minimal Strata 1 (S1).
Guru yang memiliki kemampuan profesional sangat di butuhkan dikalangan masyarakat khususnya di lingkungan sekolah. Karena guru merupakan orang tua yang kedua bagi siswa. Dengan guru siswa akan mendapatkan pelajaran dan ilmu, sehingga siswa bisa termotivasi dan tertarik dengan proses belajar mengajar di sekolah. Sebaliknya apabila guru tidak memiliki kemampuan profesional, maka akan berdampak negatif dengan minat belajarnya.

2.1.2      Ciri-ciri guru yang profesional
1.        Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep
Guru profesional adalah guru yang dapat menguasai bahan pelajaran yang akan disampaikan di dalam kelas. Selain itu juga guru mutlak menguasai secara utuh konsep-konsep dasar yang membangun bahan pelajaran yang akan di ajarkan.
2.        Pengelolaan dan program pembelajaran
Seorang guru dituntut untuk mampu merancang persiapan dan program pembelajaran sebelum mengelola  kegiatan pembelajaran di dalam kelas.
3.        Pengelolaan kelas
Kemampuan manajerial guru juga dituntut dalam hal memanage kelas, agar kelas dapat kondusif sehingga mendukung keberhasilan pembelajaran.
4.        Pengelolaan dan penggunaan media serta sumber belajar
Guru profesional adalah guru yang dapat secara tepat memilih dan menggunakan media pembelajaran dalam kegaitan pembelajaran yang dilakukan.
5.        Kemampuan menilai prestasi belajar mengajar
Penilaian pembelajaran sebagai alat untuk mengukur keberhasilan guru dan siswa setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran menjadi salah satu variabel penting.

2.1.3      Syarat-syarat guru profesional
Menurut Dian Maya Shofiana (2008:27), guru profesional harus memiliki persyaratan, yang meliputi:
1.        Memiliki bakat sebagai guru. 
2.        Memiliki keahlian sebagai guru. 
3.        Memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi. 
4.        Memiliki mental yang sehat. 
5.        Berbadan sehat. 
6.        Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas. 
7.        Guru adalah manusia berjiwa pancasila. 
8.        Guru adalah seorang warga negara yang baik.

2.1.4      Ukuran Guru yang Berkualitas
Tantangan baru yang muncul kemudian dalam rangka pelaksanaan tugas keprofesionalan seorang guru atau pendidik, seiring dengan terbitnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005 adalah tantangan normatif berupa sertifikasi guru sebagai jaminan lulus uji kompetensi sebagai guru profesional. Meskipun di dalamnya ada harapan baru berkaitan dengan tingkat kesejahteraan guru, tetapi sekaligus menjadi buah kecemasan dan penantian yang belum pasti bagi pendidik atau guru.
Guru harus berkualitas menurut standar tertentu. Bukti kualitas menurut standar tertentu yang menjamin seseorang dapat dikatakan sebagai guru profesional adalah selembar sertifikat. Perolehan sertifikat sebagai guru profesional harus melalui dan lulus uji kompetensi guru.
Ada dua kriteria utama yang menjadi syarat untuk sampai kepada maksud tersebut, yakni (PP RI No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 1 – 3):
1.        Memenuhi kualifikasi akademik pendidikan formal minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), dan
2.        Memenuhi standar kompetensi sebagai agen pembelajaran.
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, (PP RI No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 1). Kualifikasi akademik, sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang dibuktikan dengan ijazah dan atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, (PP No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 2).
Pasal 6: Pendidik pada SMK atau MAK atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
1.        Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
2.        Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
3.        Sertifikasi profesi guru untuk SMK atau MAK.
Penjelasan konsep selanjutnya berkaitan dengan sertifikasi guru adalah kompetensi pendidik atau guru atau dosen. Kompetensi menurut Basuki Wibawa (2005), menggolongkan kompetensi menjadi tiga bagian, yakni:
1.        Kompetensi individu adalah kombinasi pengetahuan, kemampuan atau keterampilan dan sikap yang dimiliki seseorang, termasuk guru SMK sehingga ia mampu melaksanakan pekerjaan yang telah dirancang bagi dirinya (sebagai pendidik) baik untuk saat ini maupun di masa mendatang.
2.        Kompetensi kelompok adalah perpaduan kompetensi individu yang bersinergi untuk membentuk kompetensi inti organisasi.
3.        Kompetensi inti organisasi adalah keunggulan-unggulan sinergis yang dimiliki oleh suatu organisasi atau lembaga pendidikan sehingga mampu mencapai tujuannya dan menjawab permasalahan dan tantangan implementasi program kerja yang dihadapi. Kompetensi organisasi biasanya dibangun melalui proses pertumbuhan pembelajaran yang melibatkan berbagai elemen organisasi dan sering kali menyita waktu yang panjang dan menyerap sumberdaya yang besar.
Basuki Wibawa (2005), menyatakan bahwa kompetensi merupakan kombinasi yang kompleks antara pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang ditunjukkan dalam konteks pelaksanaan tugas. Sementara itu, UU RI No. 14 2005, pasal 1, ayat 10, menegaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Dengan demikian, kompetensi guru merupakan karakteristik dasar yang ditunjukkan oleh guru dalam bentuk pernyataan, sikap dan tindakan yang membentuk kepribadiannya yang mampu membedakan dirinya dengan orang lain dengan performansi tinggi atau rendah dalam melaksanakan tugasnya di bidang pekerjaan tertentu dalam lembaga pendidikan.
Meskipun pengertian kompetensi secara umum telah dijelaskan di atas, tetapi secara rinci yang mengindikasikan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi: Kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan Sosial, (UU RI No. 14 tahun 2005, pasal 10 ayat 1; dan PP RI No. 19 tahun 2005, pasal 28, ayat 3).
Lulus uji kompetensi sebagai syarat untuk memperoleh sertifikasi profesi yang menandai layak tidaknya seorang pendidik menyandang sebutan pendidik profesional berimplikasi pada meningkatnya penghasilan pendidik. Pendidik yang menyandang sebutan profesional berhak memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokoknya. Pendapatan yang bertambah akan berimplikasi pula pada meningkatnya perhatian pendidik pada tugas pokoknya dan akan mengurangi porsi waktunya untuk bekerja “di luar” jam tugas pokoknya. Hal itu berdampak positif pada kualitas pengelolaan PBM yang dikelolanya. Selanjutnya, dapat diharapkan kualitas peserta didiknya meningkat pula. Pada akhirnya akan berdampak positif pada kualitas pendidikan pada umumnya.
Menurut Danim, (2002) untuk melihat apakah guru dikatakan profesional atau tidak, dapat dilihat dari dua perspektif.
1.        Dilihat dari tingkatan pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk jenjang sekolah tempat dia menjadi guru.
2.        Penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, dan lain-lain. (Sudarwan Danim, 2002).
Perspektif ini merujuk pada konsep yang dianut di lingkungan Depdiknas, sebagai “instructional leader” guru harus memiliki 10 kompetensi, yakni (Sudarwan Danim, 2002) :
1.        Mengembangkan kepribadian,
2.        Menguasai landasan kependidikan,
3.        Menguasai bahan pengajaran,
4.        Menyusun program pengajaran,
5.        Melaksanakan program pengajaran,
6.        Menilai hasil dan proses belajar-mengajar,
7.        Menyelenggarakan program bimbingan.
8.        Menyelenggarakan administrasi sekolah.
9.        Kerjasama dengan sejawat dan masyarakat.
10.    Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Sementara dalam  Undang-undang No 14  tahun 2005  tentang Guru dan Dosen pasal 10 dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 28, disebutkan bahwa guru yang berkualitas harus memiliki empat kompetensi, yaitu:
1.        Kemampuan Pedagogik. Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen  dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini  dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian.
2.        Kemampuan Profesional. Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam”.
a)         Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya.
b)        Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan profesional mencakup:
·           Penguasaan pelajaran yang terkini  atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan bahan yang diajarkan tersebut,
·           Penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan,
·           Penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
c)         Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi profesional mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, tentang subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi yaitu menguasai konsep teoretik, maupun memilih metode yang tepat dan mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
d)        Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi profesional meliputi:
·           pengembangan profesi, yang meliputi: mengikuti informasi perkembangan iptek yang mendukung profesi melalui berbagai kegiatan ilmiah, mengalihbahasakan buku pelajaran atau karya ilmiah, mengembangkan berbagai model pembelajaran, menulis makalah, menulis atau menyusun diktat pelajaran, menulis buku pelajaran, menulis modul, menulis karya ilmiah, melakukan penelitian ilmiah (action research), menemukan teknologi tepat guna, membuat alat peraga/media, menciptakan karya seni, mengikuti pelatihan terakreditasi, mengikuti pendidikan kualifikasi, dan mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.  
·           pemahaman wawasan, yang meliputi: memahami visi dan misi, memahami hubungan pendidikan dengan pengajaran, memahami konsep pendidikan dasar dan menengah, memahami fungsi sekolah, mengidentifikasi permasalahan umum pendidikan dalam hal proses dan hasil belajar, membangun sistem yang menunjukkan keterkaitan pendidikan dan luar sekolah.  
·         penguasaan bahan kajian akademik, yang meliputi: memahami struktur pengetahuan, menguasai substansi materi, menguasai substansi kekuasaan sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesional guru meliputi: kemampuan penguasaan materi pelajaran, kemampuan penelitian dan penyusunan karya ilmiah, kemampuan pengembangan profesi, dan pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan.
3.        Kemampuan Sosial. Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial guru meliputi: interaksi guru dengan siswa, interaksi guru dengan kepala sekolah, interaksi guru dengan rekan kerja, interaksi guru dengan orang tua siswa, dan interaksi guru dengan masyarakat.
4.        Kemampuan Pribadi. Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber daya manusia.  Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya). Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000: 225-226)  menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah). Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan. Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi kepribadian guru meliputi sikap dan keteladanan.
Menurut Sudhita (2006) keempat kompetensi yang dipaparkan di atas sebetulnya sudah menjadi kewajiban guru, diminta maupun tidak diminta, guru harus melakukannya secara tulus.

2.1.5      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Guru

Mohamad Surya (2002) mengatakan bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi kinerja profesional guru adalah “kepuasan kerja” Kepuasan kerja ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor: imbalan jasa, rasa aman, hubungan antar pribadi, lingkungan kerja dan kesempatan untuk pengembangan dan peningkatan diri. BPPN tahun 1999 menyatakan bahwa kesejahteraan guru merupakan aspek paling crucial dalam dunia pendidikan. Tingkat kesejahteraan guru tergolong rendah, bahkan amat rendah, tidak setara dengan pengabdian yang diberikannya. Kesejahteraan guru yang rendah berdampak tidak menguntungkan terhadap motivasi guru, status sosial profesi keguruan, dan dunia pendidikan secara keseluruhan. Gaji merupakan aspek utama dan paling pokok dalam kesejahteraan guru. Selain gaji, kesejahteraan guru juga meliputi kelancaran dalam kenaikan pangkat, rasa aman dalam menjalankan tugas, kondisi kerja, kepastian karier sebagai guru, dan hubungan antar pribadi.

Faktor-faktor tersebut saat ini belum terwujud sepenuhnya dalam lingkungan kehidupan guru dan belum mendapat perhatian yang cukup oleh pemerintah dalam program profesionalisasinya.

2.1.6      Strategi menjadi Guru Profesional
Berangkat dari makna dan syarat-syarat profesi sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, maka dalam rangka pengembangan profesionalisme guru secara berkelanjutan dapat dilakukan dengan berbagai strategi antara lain :
1.        Berpartisipasi didalam pelatihan atau in servie training.
Bentuk pelatihan yang fokusnya adalah keterampilan tertentu yang dibutuhkan oleh guru untuk melaksanakan tugasnya secara efektif. Pelatihan ini cocok dilaksanakan pada salah satu bentuk pelatihan pre-service atau in-service. Model pelatihan ini berbeda dengan pendekatan pelatihan yang konvensional, karena penekanannya lebih kepada evaluasi performan nyata suatu kompetensi tertentu dari peserta pelatihan.
2.        Membaca dan menulis jurnal atau makalah ilmiah lainnya.
Dengan membaca dan memahami banyak jurnal atau makalah ilmiah lainnya dalam bidang pendidikan yang terkait dengan profesi guru, maka guru dengan sendirinya dapat mengembangkan profesionalisme dirinya. Selanjutnya untuk dapat memberikan kontribusi kepada orang lain, guru dapat melakukan dalam bentuk penulisan artikel
atau makalah karya ilmiah yang sangat bermanfaat bagi pengembangan profesionalisme guru yang bersangkutan maupun orang lain.
3.        Berpartisipasi di dalam kegiatan pertemuan ilmiah.
Pertemuan ilmiah memberikan makna penting untuk menjaga kemutakhiran (up to date) hal-hal yang berkaitan dengan profesi guru. Tujuan utama dari kegiatan pertemuan ilmiah adalah menyajikan berbagai informasi dan inovasi terbaru di dalam suatu bidang tertentu. Partisipasi guru pada kegiatan tersebut akan memberikan kontribusi yang berharga dalam membangun profesionalisme guru dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
4.        Melakukan penelitian seperti PTK.
Penelitian tindakan kelas yang merupakan studi sistematik yang dilakukan guru melalui kerjasama atau tidak dengan guru lain dalam rangka merefleksikan dan sekaligus meningkatkan praktek pembelajaran secara terus menerus juga merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme guru. Berbagai kajian yang bersifat reflektif oleh guru yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya dan memperbaiki kondisi dimana praktek pembelajaran berlangsung akan bermanfaat sebagai inovasi pendidikan. Dalam hal ini guru diberdayakan untuk mengambil berbagai prakarsa profesional secara mandiri dengan penuh percaya diri. Jika proses ini berlangsung secara terus menerus, maka akan berdampak pada peningkatan profesionalisme guru.
5.        Partisipasi di dalam organisasi atau komunitas profesional.
Ikut serta menjadi anggota orgnisasi profesional juga akan meningkatkan profesionalisme seorang guru. Organisasi profesional biasanya akan melayani anggotanya untuk selalu mengembangkan dan memelihara profesionalismenya dengan membangun hubungan yang erat dengan masyarakat. Dalam hal ini yang terpenting adalah guru harus pandai memilih suatu bentuk organisasi profesional yang dapat memberi manfaat utuh bagi dirinya melalui bentuk investasi waktu dan tenaga. Pilih secara bijak organisasi yang dapat memberikan kesempatan bagi guru untuk meningkatkan
profesionalismenya.
6.        Kerjasama dengan tenaga profesional lainnya di sekolah.
Seseorang cenderung untuk berpikir dari pada keluar untuk memperoleh pertolongan atau informasi mutakhir
, akan lebih mudah jika berkomunikasi dengan orang-orang di dalam tempat kerja yang sama. Pertemuan secara formal maupun informal untuk mendiskusikan berbagai isu atau permasalahan pendidikan termasuk bekerjasama berbagai kegiatan lain (misalnya merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program sekolah) dengan kepala sekolah, orang tua peserta didik (komite sekolah), guru dan staf lain yang profesional dapat menolong guru dalam memutakhirkan pengetahuannnya. Berpartisipasi di dalam berbagai kegiatan tersebut dapat menjaga keaktifan pikiran dan membuka wawasan yang memungkinkan guru untuk terus memperoleh informasi yang diperlukannya dan sekaligus membuat perencanaan untuk mendapatkannya. Semakin guru terlibat dalam perolehan informasi, maka guru semakin merasakan akuntabel, dan semakin guru merasakan akuntabel maka ia semakin termotivasi untuk mengembangkan dirinya.


2.2         Pengaruh Profesionalisme Guru terhadap Minat Belajar Siswa
Kehadiran guru profesional tentunya akan berakibat positif terhadap perkembangan siswa, baik dalam pengetahuan maupun dalam keterampilan. Oleh karena itu, siswa akan antusias dengan apa yang disampaikan oleh guru yang bertindak sebagai fasilitator dalam proses kegiatan belajar mengajar. Bila hal itu terlaksana dengan baik, maka apa yang disampaikan oleh guru akan berpengaruh terhadap minat belajar siswa, sehingga siswa tertarik untuk lebih meningkatkan prestasi belajarnya.
Ketertarikan akan menghasilkan minat belajar pada siswa. Minat itu sendiri dipengaruhi oleh faktor psikis, fisik, dan lingkungan yang ketiganya ini saling melengkapi. Minat menjadi sumber yang kuat untuk suatu aktivitas, karena minat siswa dalam belajarnya bergantung pada kemampuan seorang guru dalam proses belajar mengajarnya. Apabila guru memiliki kemampuan sesuai dengan kriteria guru profesional maka minat belajar siswa akan meningkat, dan apabila guru tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan kriteria guru profesional maka minat belajar siswa rendah.
Kondisi belajar mengajar yang efektif adalah adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar. Minat belajar seseorang sangat bergantung dan berpengaruh pada guru. Guru dalam konteks pendidikan mempunyai peranan penting yang besar dan strategis. Hal ini disebabkan gurulah yang berada di barisan terdepan dalam pelaksanaan pendidikan. Guru juga yang langsung berhadapan dengan peserta didik untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus mendidik dengan nilai-nilai positif melalui bimbingan dan keteladanan. Tetapi fakta yang terjadi pada saat ini, guru kurang mengoptimalkan dirinya sebagai fasilitator dan pendidik. Akibatnya para peserta didik mengalami penurunan minat belajarnya.
Guru profesional secara teoretis akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Kualitas pembelajaran yang baik merupakan cerminan pelayanan guru kepada siswa untuk belajar secara interaktif, inspiratif, memotivasi, menantang, dan menyenangkan. Pembelajaran seperti itu akan dapat diwujudkan oleh guru, apabila guru secara kontinu melakukan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research/CAR).
Secara konseptual, CAR merupakan langkah reflekstif bagi guru terhadap praktik kesehariannya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas praktiknya yang akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan secara umum. CAR adalah suatu bentuk penyelidikan yang bersifat reflektif mandiri. CAR banyak digunakan dalam proses pengembangan kurikulum sekolah, perbaikan sekolah, dan perbaikan kualitas pengajaran di kelas. Menurut Kemmis dan Carr (dalam McNiff, 1992), CAR merupakan bentuk penelitian refleksi diri yang dilakukan oleh guru, siswa, atau kepala sekolah dalam pendidikan untuk memperbaiki dan memahami praktik-praktik pendidikan. CAR mendorong guru terlibat melakukan kegiatan-kegiatan dengan sikap ilmiah, situasional, praktis, empiris, fleksibel, adaptif, partisipatoris, dan self-evaluation.
Berdasarkan uraian tentang pentingnya CAR bagi guru, maka seyogyanya guru dapat melakukan CAR secara berkesinambungan. Praktik pembelajaran melalui CAR dapat meningkatkan profesionalisme guru (Jones & Song, 2005; Kirkey, 2005;McIntosh, 2005; McNeiff, 1992). Hal ini, karena CAR dapat membantu (1) pengembangan kompetensi guru dalam menyelesaikan masalah pembelajaran mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran, proses, dan hasil belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran akan berdampak pada peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru (Prendergast, 2002).


2.3        Hubungan Kualitas Layanan Belajar dengan Pendidik Profesional
 Seperti yang kita ketahui bahwa kualitas layanan belajar akan tercapai apabila pendidik tersebut profesional. Pendidik yang profesional harus mampu menciptakan layanan belajar yang berkualitas. Mewujudkan proses kegiatan pendidikan dan pengajaran, maka unsur yang terpenting antara lain adalah bagaimana guru dapat merangsang dan mengarahkan siswa dalam belajar, yang pada gilirannya dapat mendorong siswa dalam pencapaian hasil belajar secara optimal.
Mengajar dapat merangsang dan membimbing dengan berbagai pendekatan, dimana setiap pendekatan dapat mengarah pada pencapai tujuan belajar yang berbeda. Tetapi apapun subyeknya mengajar pada hakekatnya adalah menolong siswa dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan ide serta apresiasi yang mengarah pada perubahan tingkah laku dan pertumbuhan siswa.
Terpenuhinya fasilitas yang memadai disekolah maupun dirumah dapat meningkatkan kualitas belajar anak. Pendidik yang profesional harus bisa menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, sehingga siswa terpacu untuk belajar dan mereka tidak merasa bosan dengan pembelajaran yang kita ciptakan, misalnya membuat permainan yang masih berkaitan dengan materi yang kita ajarkan. Pendidik yang profesional harus terus memotivasi anak didiknya, agar mereka semangat dalam belajar, sehingga dapat meningkatkan kualitas belajar mereka.  


2.4         Upaya Peningkatan Kualitas Belajar
a)        Pengenalan Kesulitan Belajar (Bersifat Psikologis)
Secara umum siswa asuh kurang mengenali, memahami, dan menyadari sepenuhnya terhadap kesulitan belajar yang selama ini ia rasakan. Oleh karena itu, melalui kegiatan layanan bimbingan belajar (layanan pembelajaran) siswa perlu diperkenalkan dengan berbagai macam kesulitan-kesulitan belajar secara psikologis, seperti:
·           Keterlambatan akademik, yaitu kategori siswa yang memiliki bakat akademik atau memiliki tingkat kecerdasan tinggi, tetapi tidak mampu memanfaatkan kecerdasannya secara optimal.
·           Kecepatan belajar dibandingkan siswa lain pada umumnya sehingga menimbulkan kebiasaan terhadap siswa lain yang dinilai lambat.
·           Sangat lambat dalam belajar akibat memiliki kecerdasan yang kurang memadai.
·           Kurang adanya motivasi dalam belajar.
·           Bersikap dan berkebiasaan yang buruk dalam belajar.
·           Anak yang memiliki mental emosional yang kurang sehat, siswa yang demikian dapat merugikan diri sendiri.
Semua perilaku maladaptif merupakan manifestasi gejala adanya hambatan atau kesulitan belajar siswa. Dengan pengenalan hal-hal tersebut diharapkan siswa asuh dapat merasakan, mengenali, dan menyadari kesulitan belajarnya untuk segera dikonsultasikan dengan guru pembimbing di sekolah.
b)        Pengungkapan Masalah atau Kesulitan Belajar Siswa
Guna mengetahui lebih awal kesulitan belajar yang mungkin sedang dirasakan siswa asuhnya, guru pembimbing dapat mengidentifikasi melalui prosedur; pengamatan, analisis hasil belajar, himpunan data siswa, tes intelegensi, bakat, minat atau wawancara dengan siswa. Kemudian analisis laporan dari guru
matapelajaran atau wali kelas dan didiskusikan dengan personil sekolah. Hasil-hasil pengungkapan tersebut dapat lebih diperkaya lagi melalui konferensi kasus. Semua hasil pengungkapan tersebut disatukan menjadi satu kesatuan informasi dan data untuk dianalis dan diambil kesimpulan yang terpadu dan tepat sebagai landasan untuk mencarikan solusinya.
c)        Bantuan Pemecahan Kesulitan Belajar Siswa
·           Bagi siswa yang memang mengalami keterlambatan akademik yang tidak bisa memanfaatkan kecerdasannya secara optimal, maka perlu diberikan penjelasan khusus bahwa IQ tinggi tidak menjamin kesuksesan belajar, kecuali disertai dengan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dan memadai. Di samping perlu ditegasi dengan tugas tertentu secara terprogram, bertanggungjawab, dan tepat waktu.
·           Bagi siswa yang mungkin mengalami ketercepatan dalam belajar, layak diberikan tugas-tugas tambahan khusus guna memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemampuan belajarnya yang amat tinggi.
·           Bagi siswa yang sangat lambat dalam belajar diperlukan suatu bimbingan dan pengajaran secara khusus dengan alokasi waktu yang khusus pula.
·           Bagi siswa yang memiliki motivasi belajar kurang, perlu adanya personal approach dari guru matapelajaran, wali kelas atau guru pembimbing terhadap siswa. Penerapan variasi-variasi metode pembelajaran yang disertai penciptaan proses pengajaran kondusif yang dapat menyenangkan dan menenangkan siswa.
·           Bagi siswa yang bersikap dan berkebiasaan buruk dalam belajar diperlukan:
1)        pengubahan sikap dan kebiasaan belajar ke arah yang lebih baik dan produktif;
2)        tindakan-tindakan yang tepat dan edukatif;
3)        tegakkan disiplin di dalam proses belajar-mengajar;
4)        guru tetap komunikatif-interaktif dan edukatif; dan
5)        tegaskan berbagai peran guru dalam proses belajar-mengajar.
·           Bagi siswa yang memiliki mental emosional kurang sehat.
Sesuai dengan teori Abraham Maslow setidaknya dipenuhi lima kebutuhan psikologis dalam proses belajar-mengajar, yaitu kebutuhan rasa kasih-sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa keingintahuan, dan rasa aktualisasi diri para siswa melalui proses belajar-mengajar karena bisa jadi mereka sangat gersang dari rumah untuk mendapatkan hal tersebut sehingga di sekolah perlu mendapatkan kembali. Dengan pemenuhan hal tersebut, maka kegersangan mental emosional menjadi sejuk kembali dengan tidak merangsang timbulnya gejolak batin siswa.
3.1         Simpulan
              Seorang guru dikatakan profesional jika ia seorang ilmuwan yang dibekali dengan kemampuan dan keterampilan untuk menjadi guru. Ia harus menguasai keterampilan metodologis, karena menurut Budiningsih (2005), keterampilan metodologis inilah yang menjadi ciri khas yang membedakan guru dengan profesi lainnya.
Guru yang profesional sangat erat kaitannya untuk meningkatkan minat belajar pada siswa, dimana guru merupakan fasilitator sekaligus mendidik siswa dalam meningkatkan minat belajar siswa sehingga memperoleh prestasi yang memuaskan. Tanpa adanya guru yang profesional maka siswa akan mengalami kendala dalam meningkatkan minat dalam belajarnya dan otomatis prestasi belajarnya akan menurun.
Kualitas layanan belajar dengan pendidik profesional tentu memiliki hubungan yang sangat erat. Layanan belajar dapat dikatakan berkualitas, jika pendidik atau guru itu profesional, untuk menjadi pendidik yang profesional harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh lembaga pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar