Bandarlampung (ANTARA) - Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan harus dicegah untuk tidak menjadi alat kekuasaan
dalam memelihara status quo, kata penggiat Sekolah Tanpa Batas, Bambang Wisudo,
di Bandarlampung, Jumat.
Dalam dialog dengan kalangan praktisi dan
birokrat pendidikan serta jurnalis di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Bandarlampung tentang Hasil Kajian Revitalisasi Pendidikan Pancasila,
mantan wartawan Harian Kompas itu menegaskan Pendidikan Pancasila bertujuan
untuk mempersiapkan anak didik menjadi warga negara dewasa yang bertanggung
jawab, aktif, dan berani mengambil inisiatif.
Pendiri AJI itu menyatakan bahwa setelah dibekali
Pendidikan Pancasila, akan memperkokoh keberagaman, menegakkan kedaulatan
rakyat, dan memperjuangkan keadilan sosial, ujar Bambang.
Dia menyatakan, kendati dalam era demokrasi,
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tetap berpotensi berbahaya untuk
disalahgunakan untuk menyokong kekuatan yang berkuasa dan direduksi menjadi
indoktrinasi.
"Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
harus dipahami bukan sebagai proses transfer pengetahuan, nilai-nilai dan
budaya dominan, melainkan dipahami sebagai proses transformasi sosial,"
kata dia pula.
Tim Sekolah Tanpa Batas (STB) itu, antara lain
Lodi Paat, Jimmy Paat, Bambang Wisudo, Ade Irawan, dan Vicharius Dian Jiwa
kepada pemerintah dan pengambil kebijakan di tingkat lokal maupun sekolah juga
merekomendasikan Pendidikan Pancasila perlu dikembangkan dalam kurikulum
nasional di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dengan materi
pengajarannya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik.
Jimmy Paat menambahkan bahwa praksis pembelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tidak sekadar mengetahui dan menguasai
materi saja, tapi harus sampai pada melakukan atau mempraktikkan pengetahuan,
nilai-nilai, budaya dan ideologi tersebut.
"Karena itu, pemahaman secara mendalam dan
penanaman nilai-nilai, serta kemauan untuk bertindak, perlu diberikan
penekanan," ujar dia lagi.
Tim STB itu, menurut Bambang Wisudo, juga
merekomendasikan pendekatan metodologis yang digunakan dalam pedagogi kritis
terutama dengan dialog, pelibatan sosial dan hadap-masalah (problem-posing).
"Ketiga pendekatan pembelajaran tersebut
sangat sentral sebagai upaya untuk membangun kesadaran kritis dari anak didik
dan masyarakat secara luas," kata dia.
Dia mengingatkan pula agar pembelajaran
nilai-nilai Pancasila itu semestinya tidak diajarkan dan menjadi tanggung jawab
para guru pengampu mata pelajaran itu semata, tetapi juga tanggung jawab semua
guru pelajaran untuk mengintegrasikannya pada proses pengajaran bidang studi
masing-masing.
Ia juga menegaskan bahwa para gurunya, perlu
diberdayakan bukan hanya memberikan pelatihan administratif dan metode mengajar
saja, tetapi dengan memberikan penguatan otoritas profesional guru.
Bambang Wisudo juga mengingatkan bahwa memasukkan
Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran yang diikutkan dalam ujian
nasional bukanlah solusi untuk mengangkat derajat Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, tetapi justru akan makin menjerumuskan dan mereduksinya.
"Penilaian model portofolio lebih tepat
untuk mata pelajaran ini, daripada bentuk tes formatif dan sumatif dengan alat
tes yang dibakukan," ujar dia pula. (tp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar